First time went to KL on Sept 1st, 2009,
Tidak pergi ke pusat kotanya, hanya melewati Ring Road antar highway dari arah Sepang (Kompleks Kuala Lumpur International Airport-Low Cost Carrier Terminal atau KLIA-LCCT) langsung ke Kuantan.. sisi tepi KL nampak kosong. tidak 'seberat' tepian Jakarta a.k.a. Jabodetabek. masih banyak ruang belum terbangun dan pepohonan. Bangunan yang dikonstruksi, mayoritas untuk perumahan rakyat seperti apartment, kondo dan flat, dirancang secara vertikal. Landed house ada juga, tapi bukan di sekitar titik transit moda angkutan massal. Dan entah mengapa mereka nampak hampir seragam.., mirip rumah2 di Kota Baru Parahyangan.
*Analisa pertama gw, Perencanaan di sini mengutamakan fungsi dibanding bentuk. Karena semua nampak sama. Balkon, ramp dan lantai sangat standard. Ga bagus2 amat. Hanya semua sama, tidak nampak adanya titik kumuh sepanjang pengamatan selama ini. Teringat kampung-kampung sepanjang perjalanan Parahyangan Bdg-Jkt yang riuh rendah dengan 'kemeriahan Bekasi' dan 'menak-menaknya Menteng'*
Nampak di kejauhan 2 'jagung' Petronas, dan KL Tower (yang mirip menara TVRI di Senayan, dengan skalanya sekitar 4 kali lebih besar) yang selalu terlihat sampai kita benar2 keluar dan memasuki highway baru. Di jalur ini, yang kemudian nampak adalah duet vegetasi tepian highway, yang melulu perkebunan kelapa sawit atau hutan tropis. Jalan ini mengingatkan Tol Jagorawi yang hijau. Hanya saja antara KL-Kuantan pohon tepinya jauh lebih lebat, karena memang aslinya dulu ia hutan alami. Sesekali nampak gerombolan pohon ini dinaungi awan rendah dan kabut tipis.. Subhanallah, sangat menarik!
Eksplorasi KL pertama terjadi 2 minggu sesudahnya. bersama Miss Astri dan dr Amorn, kami plesir ke area Bukit Bintang. dan mulailah merasakan atmosfer yang berbeda. Tidak se'sumpek' jakarta dan tidak se'klinis' Singapore. Tata kotanya boleh dibilang baik dan humanis. Setiap kawasan memiliki keberpihakan pada pedestrian dengan penyediaan jalur pejalan kaki yang layak dan lega. Jalur transportasi bus-train beragam memberi pilihan bagi warga kota. Jalur hijau banyak ditanami pohon (tidak seperti taman di Bandung yang akhir-akhir ini malah ditanami dengan tanaman hias yang Alhamdulillah banget kalau mereka survive, tapi nampaknya hidup-mati sehingga perlu ditanam yang baru per periode tertentu). Jalanan bersih dari sampah, pengemis, dan PKL. Sepertinya kependudukan British selama 200an tahun sebelum kemerdekaan Malaysia memberi dampak yang baik bagi tata bangunan dan tata kotanya. Sistem yang settled ini dibentuk oleh kelembagaan dan undang-undang bangunan-tata kota yang diadopsi dari sistem serupa di Inggris sana.
Di Bukit Bintang, tempat kami menginap, terdapat banyak hotel yang murah. Lokasi ini biasa diincar oleh kaum backpackers selain sekitaran Terminal Bus Puduraya. Jarak keduanya sebenarnya sangat dekat, sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Di sekitar BB, banyak terdapat area belanja seperti Sungai Wang, Pavilion, Lo' Yat, Berjaya, Bukit Bintang Plaza, dll yang berkumpul (sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Blok M Plaza atau Plaza Senayan di Jakarta). Sering banget, menemui orang Indonesia yang sedang berbelanja, mungkin brand di dalamnya memiliki koleksi yang lebih lengkap, dibandingkan dengan yang ada di Jakarta. Dan beberapa menjual barang yang memang lebih murah. Seperti iPhone kita bisa menghemat 1-2 jutaan bila beli di Lo' Yat (hehe iPhone, tetep!)
Jalur kereta menjadi pilihan rombongan kami selama berjalan-jalan di KL, selain lebih cepat, juga harganya terjangkau. bisa mencoba pengalaman baru melihat kota dari perspektif yang beragam. kadang di atas jalan raya, kadang selevel jalan raya dan sesekali menyelusup di bawah tanah.
Teh Ida, dg background Stesen Medan Tuanku yang platformnya lebih tinggi dari jalan raya.
Pilihannya ada Monorail, LRT dan Commuter Train (KTM). Monorail jelas berbeda, dia diangkat dari lahan tanah dengan jalur 1 garis beton di tengah struktur kereta. Sedang 2 kereta terakhir relatif sama. Di area downtown jalur keduanya di bawah tanah. Sedang di area tepian dan luar KL dia selevel dengan jalan. Yang membedakan antara LRT dan KTM adalah area pelayanan dan keretanya. LRT lebih canggih dan modern, serta hanya melayani jalur-jalur dalam KL. Sedang KTM melayani luar KL dan memiliki kereta dengan kondisi standard (mirip KRL di Jakarta). untuk perjalanan dalam kota KL, dari ujung ke ujung tidak lebih dari RM 2.5. Tapi kalau commuter beragam, bisa lebih mahal dari RM2.5 tergantung jarak. Kereta ini melayani perjalanan ke jarak-jarak jauh seperti Pelabuhan Klang (melewati Shah Alam, Ibukota Selangor), Sentul, Rawang, Seremban (ibukota Negeri Sembilan), dan yang terbaru ke Ipoh (ibukota Perak). Perjalanan paling lama dengan KTM ini ditempuh hingga sekitar 2.5jam perjalanan dan berhenti setiap stesen. Semua moda kereta ini berpangkal di KL Sentral di tengah KL. Hanya monorail saja yang terpisah sedikit. Pengguna perlu berjalan sekitar 500 meter ke jalan yang paralel dengan jalan utama tempat KL Sentral berada.
Satu hal yang menarik lagi adalah taman-taman kota KL yang representatif. Pohon-pohon dengan tajuk tinggi memungkinkan kita berjalan-jalan layaknya bukan di downtown. Di antaranya, terdapat area bermain yang menarik. Bahan lantai bukan bahan keras seperti paving atau aspalt. Tapi ground cover yang 'empuk'. Di taman KLLC, malah ada water feature yang mirip Cikarang waterpark. Hanya saja skalanya lebih kecil. Dan yang penting GRATIS! hahaha..
*just wondering*
Segala fasilitas yang ada di KL ini, gw yakin bisa saja kita punya di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, atau kota-kota lainnya di Indonesia. APBN kita gede.. sumber daya alam dan manusia juga banyak. Apa yang ga bisa coba?
Trend desain di tanah air pun memang nampaknya menuju ke sana. Wacana optimalisasi ruang publik dan perancangan urban makin gencar. Jurusan Urban Desain di tanah air banyak diminati. Tidak pula sedikit alumni Planologi dan Arsitektur (dari itb, unpar, ui, ugm dll.) yang mempelajari planning juga urban desain untuk jenjang master dan doktor di universitas2 besar di negara maju.
Dari sisi lain, pemerintah kita pasti tidak mau kalah bersaing dengan kota-kota internasional di berbagai belahan dunia. Yang akhir2 ini berlomba menyedot talenta2 profesional muda dari negara lain (untuk bergabung mendukung perkembangan ekonomi dan kemajuan wilayahnya). Selain mengundang investasi perusahaan2 multinasional di wilayahnya masing2..
Rumput tetangga memang jelas nampak sangat hijau. Pastinya membutuhkan kerja keras untuk membangun dan mempromosikan kota2 kita. Bapak2 yth, please jangan terus sibuk dengan 'cicak-buaya', rekayasa menangkap orang2 yang perform, transfer duit sambil 'kedap-kedip' atau mengepung rumah teroris dan diberitakan berhari-hari. Masih banyak yang perlu kita kerjakan. Indonesia punya segala yang potensial lho! :D
No comments:
Post a Comment