07 February, 2010

Singapore


Sejak jaman kuliah gw bayangin Singapore adalah negara Asia dengan kehidupan ala barat yang modern. Meski negaranya kecil, tapi bangunan dari negara ini berderet di daftar isi Phaidon Atlas of World Contemporary Architecture. Beberapa arsitek kondang dunia terus membuat karyanya di negeri ini. Mulai Zaha Hadid, Toyo Ito, Norman Foster, Moshe Safdie dan banyak lagi.., Konsultan lokalnya juga mulai merambah proyek-proyek desain di Indonesia, Malaysia, Philipine, Thailand, bahkan akhir2 ini ikut andil di perencanaan2 di Timur Tengah. Coba perhatikan plang pembangunan property dan mal-mal di Jakarta, nama WOHA, DP Architect, Surbana dan konsultan2 Sg nempel di proyek2 tersebut,
Nampaknya industri kreatif menjadi satu tonggak ekonomi majunya Singapore.

Sistem yang bagus, dinamis, dan jelas membuat bakat2 terbaik dari negeri tetangga tersedot. Tentu saja magnet utamanya uang dan fasilitas. Siapa ga mau gaji 6.5 kali lipat Jakarta dan 2.5 kali lipat KL. Plus pergerakan dengan sistem MRT yang wuswuswus.., kemudahan akses penerbangan ke mana saja, pusat hiburan dan belanja yang mungkin salah 1 terbaik di dunia saat ini. Ga heran alumni Institut Teknologi tercinta juga kampus Negeri dan Swasta dari negeri kita satu persatu berangkat. Gettin' the real things there, :D
Gw pernah ikut presentasi di Jurong yang kebetulan salah satu board pentingnya alumni Gajah Duduk. Disebutkan bahwa penduduk Singapore sekarang ini jumlahnya sekitar 4.5 juta. Dan masih akan mengundang sekitar 1.5 juta lagi orang dengan bakat dan kemampuan lebih untuk tinggal di sana. Buat yang dah stay dan lama di Singapore, mungkin tahu banget kalau negeri ini aslinya didominasi kaum Peranakan China dan Melayu yang cenderung malas. Akibat program pemerintah Singapore jaman Lee Kuan Yeuw, bangsa ini berubah menjadi bangsa yang memiliki etos kerja tinggi. Mereka menyiapkan diri untuk terdepan di bidang2 strategis. Seperti pelabuhan dan teknologi2 paling mutakhir di Kawasan Asia Tenggara.
Dari hal kecil, mereka dilatih dengan tertib. Misalnya menunggu antrian masuk bus dengan line besi yang membentuk aliran orang. Sampai yang besar seperti perencanaan pendidikan bagi kaum mudanya. Warga yang dinilai cerdas sudah diarahkan sejak dini untuk masuk ke universitas unggulan dan bila perlu difasilitasi beasiswa oleh industri dan pemerintahnya. Sedikit demi sedikit penduduk dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Walhasil index kualitas hidup Singaporean pun termasuk yang terbaik. Bahkan pendapatannya termasuk yang tertinggi dalam list penghasilan rata-rata warga negara di dunia.

Menjadi warga negara di negeri ini entah bagaimana rasanya? Gw sampai pernah berburu film di pusat dvd bajakan yang lumayan terkenal di Bandung. Judulnya kalo ga salah 'Singaporean Dreams', *agak2 Amrik*. Bener seperti dugaan gw sebelumnya. Keseharian mereka didominasi oleh materialisme. Untuk bertahan hidup, mereka berfikir keras tentang bagaimana mendapatkan uang yang banyak. Bahkan kalau bisa mereka dapat menikmati kemewahan2 yang mampir di depan mata setiap hari.
Dikisahkan sang ayah mengirimkan anak laki2nya untuk sekolah ke US, guna kembali dan menjadi sumber ekonomi baru keluarga yang 'sangat' potensial. Sang ayah yang hidup di tengah keterbatasan terus berfikir untuk mendapatkan kondo atau mobil yang sehari-hari mereka lihat di jalan-jalan utama kota. Sayangnya sang anak kurang beruntung dan ga bisa diwisuda di US. Kepulangannya tidak membawa ijasah degree, namun hanya diplome saja..
Agak miris dalam cerita itu ketika ayah mereka diceritakan meninggal setelah menang lotere sejuta dollar Sing. Anak cowoknya pulang juga. Ia memaksakan beli mobil demi gengsi karena dia baru pulang dari US. Dan ninggalin tunangannya karena dia lihat wanita ini kurang menfasilitasi tujuan utamanya masuk golongan elit Singapore. Sedang anak kedua yang perempuan nampak lebih realistis. Dia ingin membangun rumah tangga meski serba berkekurangan. Sang anak perempuan ini berharap uang itu sebaiknya dialokasikan untuk pelunasan hunian yang mereka cicil. dan membayar hutang-hutang yang terus menumpuk.
Dikisahkan sang ibu yang memiliki hak atur warisan mencoba seadil mungkin dengan menginvestasikan uang lotere untuk mencicil flat baru dan sekolah cucunya.. si anak cowok yang terlanjur membeli mobil mewah tidak mendapatkan bagian untuk pelunasan mobilnya sehingga ia marah besar. Kemudian sang ibu memilih pergi menghilang. Meninggalkan 2 anaknya dengan kehidupannya masing-masing..
Berakhirlah cerita itu dengan pelajaran mendalam tentang keluarga. Semakin modern sebuah komunitas, semakin hilang ikatan-ikatan sosial yang ada di dalamnya.. Money we still can find lah, but RELATIONSHIP should be maintained, even it looks so 'borderless'..

Di balik segala duka sosial yang menyertai, komitmen akan modernitas-profesional dijawab dengan tegas oleh Pemerintah Singapore. Pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup warga tetap dilakukan. Contohnya Marina Bay yang dulunya laut diuruk menjadi daratan, dibangunkan fasilitas yang terus serba baru dan menarik. Ruang-ruang publik dihidupkan dengan amenities yang layak guna meningkatkan intensitas kegiatan sosial warga. Komersial distrik terus dipercantik dan dimudahkan aksesnya sehingga selalu ramai. Turis terus berdatangan dengan promosi yang gencar dan atraktif. Pilihan yang benar2 diambil dengan membayar segala resikonya..

Bangunan dan lansekap tengaran dibangun secara serius dengan setting yang hampir mirip landmark2 dunia yang sukses. Esplanade mengadopsi Sidney Opera House, Singapore Eye mencontek London Eye, Orchard yang sekondang Champs-Élysées di Paris. Cukup cerdas, belajar dari kesuksesan orang lain :D
Kalau gw lihat dari satu kasus, perencanaan perumahan misalnya. Pembangunan di Singapore awalnya berfokus pada implementasi standard dan pengadaan fasilitas dan pendukungnya asal ada aja dulu dan sesuai ketentuan. Baru kemudian ditingkatkan kualitas dengan sentuhan seni dan perbaikan mutu material serta penambahan kelengkapannya. Misalnya rumah tinggal, awalnya tahun 60-70-an, Semua keluarga direncanakan untuk dapat rumah saja dulu. Fisiknya ga jauh beda dengan rusun di Jakarta sekarang, sangat standard. Untuk pergerakan vertikal, semua menggunakan tangga. setelah program ini selesai dilanjutkan dengan program upgrading. Fasad direncanakan kembali dengan pengecatan, pengubahan material baru. Tangga diubah menjadi lift. Taman sekitar hunian ditata kembali dengan perencanaan lansekap yang baik dsb.
Program upgrading ini terus dilakukan. Perkembangan terbaru muncul beragam tipologi dari hunian ini. Ada flat untuk yang standard, Apartment untuk kelas menengah, dan Condo untuk kelas premium. Semakin tinggi kelas huniannya, semakin dilengkapi dengan fasilitas yang lebih baik, seperti taman, kolam renang, gymnasium, dll.

*Still wondering and comparing to Indonesia* Akankah suatu saat Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Malang, dan Denpasar bisa serapih ini?
Perumahan masih sibuk berkutat tentang pengadaan saja. Belum bergerak ke perbaikan dan kemungkinan lanjutan keuntungan pemerintah kota untuk mengendalikan bisnis property guna kepentingan rakyat.
Dan masalah lain yang tak kalah penting. Yaitu transportasi publik yang memudahkan pergerakan warga. Juga ruang-ruang publik tempat warga meningkatkan kegiatan sosial dan merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas.
Wohoho.. pekerjaan yang sangat panjang yang perlu kita lakukan. Kalau sekarang kita rintis, mungkin anak cucu kita yang baru merasakan hasilnya.. :D

Gw jadi ingat waktu dulu jaman kuliah Pak Danis pernah berkata, 'bila ingin lihat keseriusan pemerintah lokal membangun kualitas kotanya. berjalanlah.. rasakan ruang-ruang skala manusia, di jalur pedestriannya.. di jalur2 transportasi publiknya.. ruang2 publiknya.. kejelasan sistem informasinya (plang2 daerah, jalur2 MRT, billboard2 iklan, dsebagainya).
selama mengalami ruang publik di kota ini, lumayan jelas. Menuju satu titik pun jauh lebih mudah dibanding kita ada di tengah Kampung Rambutan mau ke Lebak Bulus, Again my friends, Let's Fight!

No comments:

Post a Comment